Sekolah seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar dan berkembang. Namun, beberapa institusi pendidikan memilih pendekatan berbeda dalam menangani siswa yang dianggap “nakal” atau bermasalah. Salah satu metode yang belakangan ini memicu kontroversi adalah mengirim siswa ke tempat pelatihan ala militer—sering disebut sebagai “barak pendidikan.” Apakah ini solusi efektif atau justru bentuk lain dari kekerasan yang dibungkus disiplin?
Antara Disiplin dan Tekanan Mental: Potret Barak Pendidikan
Barak pendidikan bukan sekadar tempat pelatihan fisik. Di dalamnya, siswa yang melanggar aturan akan diberi perlakuan disiplin ketat ala militer, mulai dari baris-berbaris, bangun pagi buta, hingga pembatasan akses komunikasi. Tujuannya jelas: membentuk karakter dan kedisiplinan. Namun, cara ini memicu banyak pertanyaan, terutama soal dampak psikologisnya terhadap siswa.
Baca juga: Mirip Latihan Tentara, Tapi Ini Sebenarnya Program Rehabilitasi Sekolah?
Berikut ini beberapa fakta dan pro-kontra soal pendekatan militer dalam dunia pendidikan:
-
Membangun Disiplin, Tapi Bukan untuk Semua Karakter
Ada siswa yang memang cocok dengan metode keras dan terstruktur. Tapi tidak semua anak bisa berkembang di bawah tekanan militeristik. -
Risiko Tekanan Psikis dan Trauma
Banyak laporan menunjukkan siswa mengalami tekanan emosional, kecemasan, bahkan trauma setelah menjalani program barak pendidikan. -
Efektivitas Jangka Panjang Masih Dipertanyakan
Setelah kembali ke sekolah, tidak sedikit siswa yang mengulang perilaku negatif yang sama. Artinya, pendekatan ini belum tentu menyelesaikan akar masalah. -
Minim Pendekatan Psikologis dan Konseling
Fokus pada fisik dan kedisiplinan seringkali mengabaikan pentingnya pendekatan psikologis. Padahal, siswa bermasalah sering butuh bimbingan emosional, bukan hanya hukuman. -
Konflik dengan Prinsip Pendidikan Inklusif dan Humanis
Sistem pendidikan seharusnya menjunjung pendekatan yang ramah anak, berbasis empati, dan mendidik bukan menghukum secara ekstrem.
Mengirim siswa ke barak pendidikan bisa jadi terlihat tegas, namun tidak semua tindakan keras menghasilkan perubahan positif. Sekolah seharusnya jadi tempat mencari solusi, bukan sekadar menghukum. Jika ingin membentuk karakter kuat dan bertanggung jawab, pendekatan yang seimbang antara disiplin dan empati justru lebih relevan. Saatnya sistem pendidikan kita mengevaluasi cara mendidik yang benar-benar berpihak pada perkembangan anak